Minggu, 24 Juli 2011

INTIMIDASI DALAM NEGARA KESATUAN INDONESIA

MAKALAH
INTIMIDASI DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
















OLEH :
KELOMPOK VI
1.      HENDRIK KADIR LEIS UBUN (201011009)
2.      INDARA SAPITRI                       (201011006)
3.      FRENZA RUKMANA                  (201011029)
4.      NORMAN SCHWARSKOOF      (201011026)
5.      HANS PRASETYO                       (201011004)
6.      VERI RAMADONA                      (201011001)







PROGRAM STUDI
BUDIDAYA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
POLITEKNIK KELAPA SAWIT
CITRA WIDYA EDUKASI
2011








BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Di tengah tengah idealisme masyarakat untuk memilih kepala daerah berdasarkan hati nurani, namun juga masih ada pihak yang melakukan pemaksaan (intimidasi). Sebagai masyarakat yang lemah akan goyah dilemma untuk tidak menerima, sebab akan menjadi ketakutan akan keamanan secara individu dan keluarganya.
Disinilah pentingnya panwaslu dan pihak kepolisian untuk menjamin keamanan pemilih. Maka disetiap daerah kabupaten, kecamatan, desa, bahkan sampai RT/RW selama dalam proses pilkada ditempatkan pihak keamanan untuk memberikan jaminan keselamatan pemilih. Selain dari itu juga pentingnya masyarakat bekerja sama dengan pihak keamanan dan proaktif memberikan laporan ketika terjadi intimidasi.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat lemah sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga pontesial untuk terjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat melanggar cita asas penyelenggaraan pilkada yang jurdil dan luber.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari kita banyak menemui hal-hal seperti ini, di mana oleh sebagian kelompok atau individu penguasa yang memiliki pemahaman politik yang dangkal dan tidak up to date dengan demokrasi menggunakan intimidasi sebagai upaya pembungkaman terhadap kelompok atau individu yang menggunakan hak kebebasan berpendapat





1.2. Tujuan
Ø  Mengetahui pengertian intimidasi
Ø  Mengetahui hal-hal yang menjadi ancaman dalam Negara kesatuan Indonesia
Ø  Mengetahui macam-macan intimidasi
Ø  Mempelajari ancaman yang mungkin akan membahayakan Negara Indonesia
Ø  Melindungi Negara indonesia dari inrimidasi yang dating dari luar ataupun dari dalam negeri










BAB II
INTIMIDASI


3.1.Pengertian intimidasi
intimidasi (juga disebut cowing) dimaksudkan adalah perilaku yang akan menyebabkan seseorang yang pada umumnya akan merasakan takut cedera atau berbahaya. Ini tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa perilaku tersebut sehingga menimbulkan kekerasan sebagai teror atau korban yang sebenarnya takut. Yang dihitung menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan politik, agama, atau ideologi melalui intimidasi, kekerasan, atau Menanamkan takut "dapat didefinisikan sebagai terorisme.
Perilaku mengancam seharusnya menjadi sebuah perkembangan yang normal kompetitif maladaptive untuk mendorong dominasi umumnya terlihat pada hewan. Dalam kasus manusia, perilaku mengancam mungkin lebih terpola sepenuhnya oleh kekuatan sosial atau mungkin lebih mercilessly plotted egotisme oleh individu. Untuk menggunakan ancaman kekerasan atau mengancam atau dengan terganggu berarti untuk mengatakan atau melakukan sesuatu dalam keadaan yang sama,  akan menyebabkan orang lain bisa merasakan harus takut dari keadaan berbahaya bilamana ia tidak mematuhinya.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1.      Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2.      Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3.      Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.

3.2.Macam-macam intimidasi
Intimidasi itu sendiri ada dua macam, sebagai berikut :
1.      Intimidasi fungsional adalah intimidasi yang dapat merusak kerelaan dan hak pilih. Dalam hal ini, pihak yang diintimidasi menjadi alat di tangan intimidator. Intimidasi ini biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, ancaman membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan sadis yang dikhawatirkan membahayakan jiwa, membikin cacat atau melenyapkan seluruh harta.
2.      intimidasi non fungsional adalah intimidasi yang merusak kerelaan namun tidak merusak hak pilih dan ini bisa dengan ancaman yang lebih rendah dan ancaman yang digunakan di atas seperti ancaman dengan pukulan yang tidak membinasakan jiwa atau anggota badan atau ancaman dengan dilenyapkan sebagian harta.
Adapun apabila gangguan itu ringan dan tidak perlu dipedulikan, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap sebaga intimidasi sama sekali. Barometer untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi intimidasi adalah keputusan hakim. Karena tidak ada batasan yang tidak bisa dikurangi atau dilebihi. Sementara membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin. Maka keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung pula dengan kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada yang merasa terancam hanya dengan gertakan.





3.3.Intimidasi dalam Bidang Sosial, Politik, Ekonomi, dan Budaya
a)      intimidasi dalam bidang politik
intimidasi politik pada hakikatnya adalah terorisme politik. Kultur politik kita masih masih belum beringsut dari pola pemanifestasian kekerasan, ancaman, intimidasi dan terror. Dalam tahap-tahap tertentu kekerasan fisik diganti dengan simbolis yang dilakukan melalui wicara. Di Indonesia kedua bentik kekrasan fisik dan simboles masih acap digunakan. Mafistasi  kekerasan simbolis itu tidak hanya marak dilakukan oleh organisasi masyarakat, tetapi partai politik sekalipun condong tidak bias melepaskan diri dari jerat kekerasan simbolis. Intimidasi Partai Golongan Karya (Golkar) yang berencana mencabut dukungan kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk dari kekerasan simbolis melaui wicara. Wacana atau diskursus penarikan dukungan itu kian mengkristal setelah dipicu dua masalah. Pertama, kasus Gubernur Lampung yang belum terselesaikan hingga saat ini. Kedua, pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). kedua masalah itu mengilhami sejumlah kader Golkar memproduksi Issue besar penarikan dukungan. Atmosfer politik sedikit memanas, hubungan Presiden dan Wapres juga sedikit terganggu.
Suasana politik yang sempat memanas itu kemudian mendingin setelah Presiden hadir dalam acara halal bihalal keluaraga besar Partai Golkar di kediaman Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Wacana penarikan dukungan mereduksi dan tidak sekuat sebelum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Partai Golkar digelar.
Kita tidak menyoal perihal meredupnya tuntunan penarikan dukungan. Sejak awal kita sudah menduga diskursus penarikan dukungan yang disuarakan Partai Golkar tidak lebih sekedar instrument memperkuat posisi tawar (bargaining posisition). Yang kita permasalahkan adalah, apakah upaya untuk memperkuat kedudukan dan posisi tawar partai harus harus dilakukan dengan Intimidasi terror kekerasan dan wacana? Kita setujudan sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh yang mengingatkan partainya agar tidak menggunakan cara-cara tidak elegan dalam membangun konstruksi perpolitikan bangsa. Ancaman, intimidasi, dan terror yang di produksi partai Golkar sejatinya harus dilaksanakan jika tidak ingin dikatakan sekedar geretak sambal. Tetapi, rasionalkah Golkar untuk merealisasikan ancamannya itu sementara sang Ketua Umum Partai Golkar masih bercokol sebagai Wapres. Inilah yang tidak bisa dijawab Golkar tanpa meminta posisi kekuasaan yang lebih dari yang sudah diperoleh sekarang.
Praktik intimidasi politik dan terorisme politik yang di lakukan oleh Golkar adalah sebuah proses politisasi yang kerdil dan hanya mempertebal pengelompokan kepentingan. Control terhadap kekuasaan yang dilakukan Golkar tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat. Tetapi, condong mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilsasi kader. Kekerasan simbolis yang dilakukan Golkar bersifat premature dan setengah hati karena sejumlah alasan politis. Maka, tak heran buat kita semua bagaimana partai ini bersikap double standard terhadap pemerintahan. Di satu sisi menginginkan distribusi kekuasaan yang lebih besar sebagai partai pemenang Pemilu, tetapi satu sisi mengusung diskursus oposisi setengah hati ketika distribusi dibatasi.
Mengapa itu terjadi, karena Partai Golkar (berpura-pura) tidak memahami kekuasaan sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh rakyat. Golkar berpikir tentang diri dan kepentingannya sendiri. Jika setiap partai politik condong mengembangkan pola intimidasi politik untuk menaikan posisi tawarnya, apa jadinya negeri ini kelak. Panggung politik nasional bakal sarat dengan intimidasi dan terror politik.
Peristiwa ini kembali mengingatkan kita ke masa di mana intimidasi masih mewarnai kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer (DM). Intimidasi menjadi makanan masyarakat kita sendiri. Intimidasi memiliki pengertian tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Berbagai contoh kasus intimidasi pascadamai dapat dirasakan dengan jelas pada Pemilu Legislatif 2009, di mana masyarakat digiring oleh kelompok politik Machiavelli untuk memilih partai tertentu dengan ancaman yang seringkali terdengar mengerikan, semisal “meunye hana pileh partai A atau B ta koh taku”. Intimidasi atau kekerasan ini biasa dilakukan oleh mereka para penganut Machiavelli. Niccolo Machiavelli adalah seorang Diplomat Italia yang ditugaskan ke Perancis pada tahun 1500. Dalam hidupnya ia mengagumi Cesare Borgia membantai komandan-komandan tentaranya di Sinigaglia untuk mempertahankan kekuasaannya. Aliran Machiavellian dikenal setelah ia menulis buku Il Principle, di dalamnya diajarkan wacana baru untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan di mana sesungguhnya yang disebut wacana baru adalah sudah dipraktikan sejak zaman purba. Bagi Machiavelli kehidupan adalah “perjuangan untuk mendominasi satu sama lain” (struggle for domination). Hal yang paling penting dalam mencapai tujuan adalah kekuatan
Machiavelli membedakan secara tegas antara kepentingan-kepentingan kekuasaan dengan prinsip-prinsip moralitas. Keduanya merupakan domain yang berbeda (Suseno: 1986:8). Meski ia merekomendasikan cara-cara iblis untuk mempertahankan kekuasaan, namun Machiavelli juga menyarankan agar sebisa mungkin ‘cara singa’ dihindari. Akan jauh lebih baik bagi penguasa untuk ‘merebut hati’ rakyat atau lawan-lawan politiknya. Walaupun saran yang baik ini entah tidak dipelajari atau tidak diketahui bagi para penganutnya, sehingga saran merebut hati rakyat sangat teramat jarang dilakukan kecuali dalam momentum-momentum tertentu. Namun demikian swasa dan emas asli tetap akan memiliki perbedaan bagi mereka yang mengetahui nilainya. Intimidasi sendiri hadir dalam berbagai bentuk dalam kehidupan, ia bisa hadir melalui verbal dan non-verbal, legal formal. Dalam bentuk verbal ia biasa ditemui dalam dua bentuk pernyataan terselubung ataupun secara terbuka. Selain masyarakat, jurnalis adalah profesi yang rentan terkena intimidasi, ketika misalnya ada seorang penguasa “melabrak” media tertentu yang memberitakan fakta negatif (demi asas berita yang berimbang) dari pengerahan massa bayaran kepada calon tertentu.  Sementara dalam bentuk terbuka biasanya dipakai secara sistematis dan terstruktur oleh suatu kelompok politik tertentu dan hadir melalui berbagai media apakah sms/telepon gelap, menebar isu sebagai sebuah bentuk teror atau didatangi orang-orang dari kelompok politik tertentu ke rumah-rumah masyarakat memberi ancaman baik halus ataupun keras. Kelompok politik yang melakukan intimidasi biasanya akan memastikan memberi bukti kecil atas intimidasinya untuk meyakini masyarakat untuk takut, setakut-takutnya hingga akan patuh dan tidak akan membuka suara atau kesaksian yang diperlukan jika terjadi pengungkapan kasus. Melalui legal formal, biasanya para penganut Machiavelli memanfaatkan atau menjebak alat atau badan negara untuk bekerja sama dalam mencapai tujuannya. Di level Aceh kita masih teringat bagaimana di 2009 hampir tidak ada pencegahan atau penindakan hukum terhadap para pelaku intimidasi politik oleh pihak yang berwenang. Sementara di level nasional ancaman boikot terhadap media-media yang selalu kritis terhadap pemerintahan nasional hari ini juga boleh dikatakan intimidasi secara formal bagi media untuk mengurangi atau menghentikan pemberitaan kritis yang dianggap merugikan penguasa. Dalam rancangan strategi politik tingkat tinggi, peningkatan kekerasan dalam bentuk kriminalitas, serangan massa ke kantor partai politik tertentu, teror bom, pembakaran rumah tokoh-tokoh politik tertentu juga merupakan bagian dari upaya menumbuhkan rasa takut, tidak aman bagi masyarakat. Hal seperti ini dilakukan untuk memudahkan jalan bagi kelompok politik untuk memenangkan pertarungan politik. Menurut Machiavelli, lebih mudah bagi seorang penguasa adalah ditakuti, karena bila dia memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan demi rakyat yang mencintainya. Tahun 2009 dapat dikatakan sebagai tahun intimidasi politik Aceh yang seharusnya tidak boleh terjadi. Namun sejarah sudah telanjur memberikan tinta merah bagi rapor demokrasi Aceh 2009. Sudah semestinya ini tidak boleh berulang pada 2011. Pihak berwenang sudah sewajibnya menggunakan segala kekuatannya untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk intimidasi dan teror politik. Di Jawa, pada musim mudik biasanya pihak berwenang mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi para pelaku kriminal di jalan sepanjang jalur Pantura dan selatan demi melindungi keselamatan masyarakat yang melakukan mudik tahunan. Maka semoga kita pun mendengar perintah yang sama bagi para pelaku intimidasi yang biasanya beraksi menjelang pemilu. Terjaminnya keamanan masyarakat pada Pilkada 2011 adalah suatu bukti bahwa aparat keamanan dan militer adalah pelindung bagi masyarakat Aceh dan dapat menghapus citra negatif yang telah melekat selama DOM dan DM. Bagi masyarakat, revolusi yang sedang melanda negara-negara Arab dapat kita jadikan pelajaran bahwa ketika kekuatan rakyat bersatu maka sehebat apa pun kekuasaan beserta alat-alatnya tidak akan mampu menghentikan gelombang perlawanan rakyat. Kita tidak boleh menganggap intimidasi sebagai sesuatu yang halal dan boleh terjadi tanpa pencegahan dan penghukuman. Rakyat harus sadar dengan kekuatannya dalam menghadapi model-model kampanye politik primitif yang menggunakan intimidasi. Jika Belanda dapat hengkang dari Aceh karena perlawanan rakyat Aceh maka sudah saatnya rakyat Aceh bersatu melawan intimidasi. Semoga tahun 2011 dapat jadi catatan buruk bagi para pelaku intimidasi dan terror politik sehingga dapat jera dan taubat dari perilaku politik burukter. Intimidasi dalam bidang social dan budaya (agama)
Beberapa pekan terakhir, istilah jihad menjadi tema menarik yang sering diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini dalam penerapannya mengatasnamakan jihad, berperang di jalan Tuhan dan atas nama agama. Asumsi demikian bisa saja benar karena bisa saja agama dijadikan alat legetimasi tindakan-tindakan yang kurang searah dengan substansinya, dijadikan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindakan kekerasan misalnya.

Terdapat sanggahan dari banyak fihak khususnya kaum agamawan yang mengatakan bahwa agama sama sekali tidak mengandung doktrin amoral semisal kekerasan. Menurut kelompok ini, kekerasan yang terjadi bukanlah bersumber dari agama melainkan dari individu-individu yang mengaku beragama dan agama dijadikan kambing hitam aksi mereka. Walaupun dalam agama-agama terdapat doktri 'perang', bukan berarti agama mengajarkan kekerasan, permusuhan, intimidasi, dan terorisme.

Kata jihad, perang dan dakwah mereka maknai sebagai 'mengajak' bukan 'memaksa'. Perlu diingat bahwa agama juga menekankan terwujudnya solidaritas dan toleransi. Islam, Budha, Kristen, Hindu, maupun Katolik merupakan agama yang diturunkan ke muka bumi dari langit dengan tujuan rahmatan lil'alamin, agama cinta kasih dan semacamnya.

Namun di sisi lain, ada juga kelompok yang menganggap agama sebagai biang kerok kekerasan dan intimidasi. Agama oleh mereka diproyeksikan sebagai penggerak konflik umat beragama. Kejadian-kejadian yang berbau konflik sering kali berpangkal pada permasalahan agama. Konflik Poso, Madura, Sambas, bom bali, bom kuningan, bom hotel Marriot, terorisme yang saat ini kental diperdebatkan kesemuanya memiliki hubungan erat dengan agama atau paling tidak dengan pemahaman keagamaan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia akan tetap berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak dapat dilupakan bahwa agama juga sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam perjalanannya agama.

b)      Intimidasi dalam bidang militer
Pertahanan militer sebagai kekuatan bersenjata ditampilkan melalui SDM dan Alutsista, dibangun, dan dikembangkan secara profesional untuk mencapai tingkat kekuatan sampai pada standar penangkalan. Namun, pembangunan kekuatan pertahanan negara harus dipersiapkan untuk menghadapi setiap ancaman militer yang sewaktu-waktu dapat timbul.
Upaya penangkalan tidak bersifat pasif, tetapi dikembangkan dalam suatu strategi penangkalan yang memiliki sifat dinamis, melalui kesiapsiagaan kekuatan pertahanan untuk menghadapi kondisi terburuk, yakni menghadapi ancaman aktual dalam bentuk perang atau bentuk ancaman militer lainnya.
Dalam konteks “menghadapi ancaman militer”, kekuatan pertahanan yang dimiliki didayagunakan untuk mengatasi situasi negara yang terancam oleh suatu serangan militer dari negara lain, atau sedang diperhadapkan dengan adanya jenis ancaman yang akan mengganggu kepentingan nasional.
Pertahanan militer merupakan kekuatan utama pertahanan negara yang dibangun dan dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer, tersusun dalam komponen utama serta komponene cadangan dan komponen pendukung. Pendayagunaan lapis pertahanan militer diwujudkan dalam penyelenggaraan operasi militer, baik dalam bentuk Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

3.4.Tekanan, terror dan Intimidasi Mmengaancam Independensi Hakim dan Wibawa Peradilan
Peradilan terhadap kasus-kasus intoleransi, terorisme dan kekerasan SARA, berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Tekanan, teror dan intimidasi massa telah dan berpotensi mengancam independensi hakim dan wibawa peradilan. Persidangan gagal mengungkap kebenaran materiil serta mengungkap peran-peran pelaku kekerasan di masyarakat dan vonis yang ringan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan atas nama agama.
Dalam pemantauan yang dilakukan oleh LBH Jakarta atas sejumlah peradilan yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan kasus-kasus kekerasan dan intoleransi didapati bahwa:
1.      Hakim seringkali tidak objektif dalam melihat fakta-fakta persidangan.
2.      Adanya perlakuan diskriminatif terhadap terdakwa dari pihak korban serangan dipersidangan, misalnya dalam kasus Cisalada, dalam wujud tidak menahan tiga pelaku penyerangan dan sebaliknya menahan pihak korban serangan dari pihak ahmadiyah.
3.      Hakim dan Peradilan tidak mampu menjaga wibawa persidangan dengan munculnya teror dan intimidasi yang dilakukan secara terbuka di persidangan dan mengarah pada penghinaan persidangan (contemp of court). Teror dan ancaman kekerasan muncul dalam persidangan di PN Bekasi dalam kasus Cikeuting dan di PN Bogor dalam kasus Cisalada. Teror ditujukan tidak saja kepada saksi atau pihak korban penyerangan massa, namun juga kepada Hakimi Pengadilan secara umum,
4.      adanya pelanggaran kode etik hakim untuk menjunjung tinggi imparsialitas hakim selama persidangan.
Dalam kasus penusukan pendeta di Cikeuting, Bekasi dengan terpidana ketua Front Pembela Islam Bekasi, Hakim telah menjatuhkan vonis yang ringan dan membiarkan para saksi korban dalam kondisi yang tertekan dan terus mengalami intimidasi sepanjang persidangan.
Terakhir, berkenaan dengan persidangan yang akan segera berlangsung kepada para terdakwa peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang rencananya akan digelar pada tanggal 26 April 2011 di Pengadilan Negeri Banten, ancaman akan terganggunya persidangan dan independensi pengadilan cukup nyata menginggat latar belakang Para terdakwa yang diajukan ke Persidangan. Pengadilan Kasus Cikeusik sendiri diharapkan dapat memutus rantai impunitas dengan menghukum para pelaku dengan memberikan effek jera terhadap pelaku sehingga tidak mengulangi kejahatannya dimasa depan. Lebih jauh pengadilan Cikeusik juga diharapkan dapat mengungkap aktor-aktor dan motif yang lebih jelas dibalik kasus kekerasan dan penyerangan yang terjadi.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas, kami meminta Komisi Yudisial untuk:
1.      Mengambil kebijakan yang tepat untuk mencegah terlanggarnya prinsip-prinsip peradilan yang fair (fairness of judiciary) dan melakukan pemantauan selama persidangan berlangsung dan untuk melakukan upaya yang memadai untuk ikut mencegah terganggunya pengadilan yang independen dan jujur (fairness of judiciary).
2.      Berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk memberikan peringatan terhadap majelis hakim yang mengadili kasus-kasus SARA untuk menjunjung tinggi kode etik Hakim dan imparsialitas dan independensi Hakim,
3.      Melakukan pemeriksaan atas dugaan-dugaan pelanggaran kode etik Hakim dalam Persidangan-persidangan kasus intoleransi dan kekerasan SARA.


3.5.Anatomi Intimidasi
Intimidasi adalah sebuah cara yang digunakan oleh seseorang untuk menjatuhkan mental orang lain.  Secara umum, untuk mengintimidasi seseorang, kita perlu menonjolkan kelebihan kita dan membuat orang lain merasa inferior di hadapan kita.  Orang yang mengintimidasi membesar-besarkan kelebihannya sehingga korban intimidasinya lupa pada fakta bahwa ia pun memiliki kelebihan.
Sebenarnya tidak ada manusia yang lebih rendah daripada orang lain, kecuali ia merendahkan dirinya sendiri.  Tidak ada manusia yang tidak punya kelebihan, tidak ada pula manusia yang tidak ada kekurangan.  Masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri.  Oleh karena itu, dalam sebuah konflik, memang sangat bijaksana kalau kita belajar mengintimidasi lawan.
Akan tetapi, kita selalu punya pilihan.  Terintimidasi atau tidak itu adalah hak prerogatif setiap manusia.  Semengerikan apa pun masalahnya, kalau orang yang bersangkutan tidak mau diintimidasi, maka ia akan tetap tegar. Sehebat itu intimidasinya, lebih hebat pula resistensinya.  Terintimidasi atau tidak, itu adalah sebuah pilihan.
Sebuah fakta yang sering kita lupakan adalah : intimidasi adalah sebuah langkah yang diambil oleh orang-orang yang takut.  Diambilnya inisiatif untuk mengintimidasi lawan adalah bukti nyata atas ketakutannya sendiri.  Kalau ia seratus persen yakin bisa mengungguli kemampuan lawannya di segala bidang, maka ia tidak perlu mengintimidasi orang lain.  Cukup tenang-tenang saja dan menghadapi semua tantangan. 
Mengapa preman merajah tubuhnya dengan tato-tato yang seram?  Mengapa para penjahat memasang kumis yang sangar di wajahnya?  Mengapa anak-anak punk menindik-nindik tubuhnya sembarangan dan berpakaian sedemikian rupa sehingga orang-orang takut pada mereka?  Jawabannya mudah : karena mereka takut.
Orang-orang yang berusaha mengintimidasi orang lain jelas-jelas merasakan takut.  Mereka merasa terancam, dan karenanya, mereka perlu menakut-nakuti 'lawan-lawannya'.  Tahukah Anda bahwa Mao Tse Tung, sang diktator RRC, pernah memberi instruksi untuk memberi hukuman mati di setiap daerah secara berkala, hanya untuk memelihara ketakutan?  Mengapa pemerintah perlu memelihara rasa takut?  Sederhana saja.  Karena jika rakyat merasa takut, maka mereka akan terus berkuasa.  Sejarah membuktikan bahwa pemerintah setangguh apa pun akan hancur jika rakyatnya kompak menggulingkannya.
Mengapa para tiran dan diktator merasa perlu mempertontonkan kekejamannya di muka umum?  Tentu saja untuk memelihara ketakutan.  Ketika orang-orang terintimidasi oleh kekejamannya, maka mereka lupa bahwa mereka pun punya kekuatan.  Mereka bisa memberontak, tapi ketakutan telah membuat mereka lupa.  Jika demikian yang terjadi, maka berhasillah misi para intimidator.
Apa yang terjadi kalau Lennox Lewis disuruh bertinju melawan Miing Bagito?  Bisa dipastikan Lennox Lewis tidak perlu memasang wajah seram (seperti biasanya) dan mengeluarkan kata-kata intimidasi (seperti biasanya).  Lewis sudah pasti yakin seribu persen akan dapat menumbangkan Miing pada ronde pertama.  Karena itu, intimidasi hanya buang-buang energi saja.  Dengan senyum-senyum pun ia bisa mengalahkan lawan dengan mudah.
Apa pula jadinya kalau Mariah Carey ikut kontes menyanyi melawan Susilo Bambang Yudhoyono?  No contest!  Tidak perlu sikut-sikutan, tidak perlu menebar ancaman.  Sudah pasti Mariah Carey menang mudah.  Tidak perlu intimidasi jika kita sudah yakin menang.  Sebaliknya, jika kita tidak yakin bisa menang, maka kita perlu menjatuhkan mental lawan.
Orang hanya marah jika merasa terancam.  Ini adalah sebuah fakta.  Jika ia yakin bisa mendapatkan jalan keluar dari masalahnya, tentu ia tidak perlu naik darah.  Ketika manusia marah, maka pada hakikatnya ia sedang menggigil ketakutan. 
Contoh konkret lainnya bisa kita lihat pada acara-acara Ospek.  Tahukah Anda, siapa orang-orang yang paling galak ketika mengospek juniornya?  90% kemungkinannya mereka adalah orang-orang yang dulunya lemah dan terintimidasi oleh seniornya.  Untuk menutupi rasa malu akibat ketidakmampuannya dahulu, maka ia menampilkan sosok galak dan beringas di hadapan juniornya.  Apakah ia dulu juga perkasa di hadapan seniornya?  Sama sekali tidak.  Sebaliknya, orang-orang yang semasa diospek dahulu tidak berhasil diintimidasi oleh seniornya, maka ia pun tidak merasa perlu menakut-nakuti juniornya.  Orang kuat tidak butuh intimidasi.
Jadi, jika suatu hari Anda diintimidasi oleh seseorang, maka tersenyumlah, dan tepuklah pundaknya dengan penuh rasa iba.  Kasihanilah mereka, karena sesungguhnya mereka merasa ketakutan pada Anda.  Mereka merasa perlu menakut-nakuti Anda karena Anda adalah sebuah ancaman dalam pandangan mereka.  Kasihanilah mereka.  Mereka selalu hidup dalam ketakutan.



























BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
Intimidasi adalah perilaku yang akan menyebabkan seseorang yang pada umumnya akan merasakan takut cedera atau bahaya. Dan pada dasarnya intimidasi bersifat ingin merusak atau secara tidak langsung bermaksud memecahkan Negara. Bagi pelaku selalu ingin mencari keuntungan semdiri.

3.2  Saran
Indonesia adalah Negara hukum yang berbentuk republik. Maka marilah kita menjaga diri kita dan semua yang ada disekitar kita. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkanm yang dapat memecahkan Negara kita.





DAFTAR PUSTAKA





           
di akses pada tanggal 24 mei 2011
di akses pada tanggal 25 mei 2011
diakses pada tanggal 26 mei 2011
di akses pada tanggal 29 mei 2011
di aksese pada tanggal 29 mei 2011
diakses pada tanggal 31 mei 2011
di akses pada tanggal
http://aceh.tribunnews.com/news/printit/56365